ilustrasi |
Bola mata ku berputar perlahan mengikuti
pergerakan lalu lalang lintas manusia yang mulai padat seiring dengan
meredupnya cahaya sang pusat tata surya. Aku begitu sibuk dengan pikiranku
sendiri, diiringi aroma kafein yang bersumber dari secangkir coffee latte di hadapanku, yang masih utuh
walau setengah jam telah berlalu. Di sebuah
kafe yang tersudut ini, aku menjatuhkan pilihan pada tempat duduk yang tersudut
pula. Namun dari sudut ini, pandanganku justru begitu luas. Toko bunga segar di
seberang jalan terlihat dengan jelas tanpa penyekat. Keranjang –keranjang
berisi aneka ragam bunga tersusun rapih di depan toko. Semerbaknya menyapa
pelanggan yang datang dan orang-orang yang hanya sekedar lewat. Barisan paling
depan diisi dengan deretan mawar berbagai warna, disusul dengan bunga aster,
lili, anggrek lalu bunga matahari, sedang jenis bunga lainnya, yang ku yakini
masih sangat banyak, luput dari pandanganku lewat sudut ini. Otakku pun melepaskan
memori akan aroma bunga-bunga itu, sehingga aku terasa dapat menghirupnya walau
berjarak puluhan meter jauhnya. Begitu jelasnya pandanganku dari sini, hingga
aku dapat melihat seorang lelaki berkemeja merah maroon membawa pulang sebuket bunga yang didominasi oleh merah maroon pula, sungguh serasi. Lalu aku
disibukkan dengan menerka bagaimana ekspresi wanita yang dituju saat mendekap
buket bunga itu. Aku sedikit berharap ia menggunakan gaun merah maroon pula. Tiba-tiba
aku teringat akan dirinya, lucunya bukan karena ada kenangan antara aku, dia,
dan bunga. Tapi justru karena dia tak pernah memberiku bunga. Dia jauh dari
kriteria romantis seperti lelaki berkemeja merah maroon itu, dia cenderung aneh. Berkat keanehannya, dia berhasil tinggal
lama dalam pikiranku dan masih saja mengganggu hingga hari ini. Seharusnya dia
sudah tidak boleh tinggal disini, tapi entah bagaimana semua hal akan mengingatkanku
tentangnya, bahkan yang tak ada kaitannya dengan kami, seperti buket bunga itu.
Suatu waktu aku pikir aku sudah lupa, namun
ketika ada hal-hal yang mengusikku, seperti hal-nya buket bunga tadi, aku jadi tersadar
bahwa aku tidak benar-benar lupa. Kalau saja dia yang mengisi bangku kosong di
sebelah ku ini, takkan mungkin dia membiarkanku berlama-lama berdiam diri dan memperhatikan
toko bunga di seberang sana. Dia akan membuat dirinya menjadi satu-satunya
objek yang kuperhatikan sepenuh hati. Sebab diotaknya itu, rentetan kisah sudah
mengantre untuk dimuntahkan satu-per-satu, tak habis-habisnya. Cangkirnya begitu
cepat surut dan berganti dengan cangkir kedua dan ketiga, saking semangatnya.
Dan aku, masih dengan cangkir penuhku, menonton dirinya dengan segala keajaiban
kisahnya, keanehannya saat me-reka ulang adegan dalam kisahnya, dan antusiasme
di matanya. Dia adalah pertunjukan yang paling seru, yang detik itu juga
menjadi favoritku.
Dia seperti pelawak yang penuh humor, tidak
pernah serius, dan tampak tidak peduli, sehingga secuil perhatian yang ia
tunjukkan menjadi terasa begitu istimewa. Pernah suatu ketika, saat kami sedang
mengunjungi festival produk kreatif, diam-diam dia membelikanku sebuah jepitan
rambut berbentuk flamingo berwarna putih. Dia menyadari kebiasaanku menjepit
poni ke atas dan dia menyukainya. Menurutnya itu membuatku terlihat dewasa. Aku
belum pernah mendengarnya memujiku dan membuatku sedemikan salah tingkah. Aku
menerima jepitan itu dengan canggung, segera menyimpannya dalam tas, dan tidak
pernah membahasnya. Jepitan itu belum pernah kupakai untuk menghindari resiko
kehilangan, kecuali hari ini. Sebab aku sudah kehilangan pemberinya.
Sebelumnya aku tak pernah berharap apapun
darinya, dari hubungan ini. Aku hanya ingin selalu menjadi penonton dari lakon
kisah-kisahnya, sebagai apapun dia. Tiba di suatu ketika, kami sama-sama menyadari
bahwa ternyata ia lebih dari sekedar pertunjukan favoritku, dan aku lebih dari
sekedar penonton-nya. Di waktu yang sama, kami tahu, tak ada yang bisa kami
perbuat selain saling melepaskan. Dia harus pergi dan tak bisa ditawar-tawar
lagi. Dia tak punya daya untuk menyangkal, terlebih lagi aku. Butuh waktu untuk
mencerna situasi ini, untuk menyadari bahwa ini sungguh-sungguh terjadi. Dia,
begitupun aku, sepenuhnya paham, kami tak bisa dan tak perlu lagi menaruh
harapan pada satu sama lain, sebab sudah tak ada gunanya. Kami tidak siap
dengan segala problematika yang ditawarkan oleh jarak. Kami tak saling yakin,
cenderung enggan menyiksa diri satu sama lain dalam kebuntuan. Ini adalah
jawaban atas tanya yang bahkan tak sempat terlontarkan.
Enam puluh menit berlalu, coffee latte-ku tak lagi utuh. Aku
menyesapinya sedikit demi sedikit sambil berharap surutnya cangkir ini dapat
sejalan dengan surutnya memori tentangnya. Cangkirku yang kini kosong
menandakan sudah waktunya bagiku untuk pulang. Aku mungkin tak akan kembali ke
kafe ini, kafe tersudut dengan coffee
latte favorit aku dan dia. Segala hal tentangnya tak akan ku bawa pulang
lagi dan kutinggalkan saja di kafe ini. Aku mengemas tas, membenarkan jepitan
rambut flamingo-ku, lalu beranjak pergi.
-afr-