A-Blog!

All about my special moments, stories, thoughts, or anything.

31/03/17

CERPEN : Secangkir Memori

ilustrasi
Bola mata ku berputar perlahan mengikuti pergerakan lalu lalang lintas manusia yang mulai padat seiring dengan meredupnya cahaya sang pusat tata surya. Aku begitu sibuk dengan pikiranku sendiri, diiringi aroma kafein yang bersumber dari secangkir coffee latte di hadapanku, yang masih utuh walau setengah jam telah berlalu.  Di sebuah kafe yang tersudut ini, aku menjatuhkan pilihan pada tempat duduk yang tersudut pula. Namun dari sudut ini, pandanganku justru begitu luas. Toko bunga segar di seberang jalan terlihat dengan jelas tanpa penyekat. Keranjang –keranjang berisi aneka ragam bunga tersusun rapih di depan toko. Semerbaknya menyapa pelanggan yang datang dan orang-orang yang hanya sekedar lewat. Barisan paling depan diisi dengan deretan mawar berbagai warna, disusul dengan bunga aster, lili, anggrek lalu bunga matahari, sedang jenis bunga lainnya, yang ku yakini masih sangat banyak, luput dari pandanganku lewat sudut ini. Otakku pun melepaskan memori akan aroma bunga-bunga itu, sehingga aku terasa dapat menghirupnya walau berjarak puluhan meter jauhnya. Begitu jelasnya pandanganku dari sini, hingga aku dapat melihat seorang lelaki berkemeja merah maroon membawa pulang sebuket bunga yang didominasi oleh merah maroon pula, sungguh serasi. Lalu aku disibukkan dengan menerka bagaimana ekspresi wanita yang dituju saat mendekap buket bunga itu. Aku sedikit berharap ia menggunakan gaun merah maroon pula. Tiba-tiba aku teringat akan dirinya, lucunya bukan karena ada kenangan antara aku, dia, dan bunga. Tapi justru karena dia tak pernah memberiku bunga. Dia jauh dari kriteria romantis seperti lelaki berkemeja merah maroon itu, dia cenderung aneh. Berkat keanehannya, dia berhasil tinggal lama dalam pikiranku dan masih saja mengganggu hingga hari ini. Seharusnya dia sudah tidak boleh tinggal disini, tapi entah bagaimana semua hal akan mengingatkanku tentangnya, bahkan yang tak ada kaitannya dengan kami, seperti buket bunga itu.

Suatu waktu aku pikir aku sudah lupa, namun ketika ada hal-hal yang mengusikku, seperti hal-nya buket bunga tadi, aku jadi tersadar bahwa aku tidak benar-benar lupa. Kalau saja dia yang mengisi bangku kosong di sebelah ku ini, takkan mungkin dia membiarkanku berlama-lama berdiam diri dan memperhatikan toko bunga di seberang sana. Dia akan membuat dirinya menjadi satu-satunya objek yang kuperhatikan sepenuh hati. Sebab diotaknya itu, rentetan kisah sudah mengantre untuk dimuntahkan satu-per-satu, tak habis-habisnya. Cangkirnya begitu cepat surut dan berganti dengan cangkir kedua dan ketiga, saking semangatnya. Dan aku, masih dengan cangkir penuhku, menonton dirinya dengan segala keajaiban kisahnya, keanehannya saat me-reka ulang adegan dalam kisahnya, dan antusiasme di matanya. Dia adalah pertunjukan yang paling seru, yang detik itu juga menjadi favoritku.

Dia seperti pelawak yang penuh humor, tidak pernah serius, dan tampak tidak peduli, sehingga secuil perhatian yang ia tunjukkan menjadi terasa begitu istimewa. Pernah suatu ketika, saat kami sedang mengunjungi festival produk kreatif, diam-diam dia membelikanku sebuah jepitan rambut berbentuk flamingo berwarna putih. Dia menyadari kebiasaanku menjepit poni ke atas dan dia menyukainya. Menurutnya itu membuatku terlihat dewasa. Aku belum pernah mendengarnya memujiku dan membuatku sedemikan salah tingkah. Aku menerima jepitan itu dengan canggung, segera menyimpannya dalam tas, dan tidak pernah membahasnya. Jepitan itu belum pernah kupakai untuk menghindari resiko kehilangan, kecuali hari ini. Sebab aku sudah kehilangan pemberinya.

Sebelumnya aku tak pernah berharap apapun darinya, dari hubungan ini. Aku hanya ingin selalu menjadi penonton dari lakon kisah-kisahnya, sebagai apapun dia. Tiba di suatu ketika, kami sama-sama menyadari bahwa ternyata ia lebih dari sekedar pertunjukan favoritku, dan aku lebih dari sekedar penonton-nya. Di waktu yang sama, kami tahu, tak ada yang bisa kami perbuat selain saling melepaskan. Dia harus pergi dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Dia tak punya daya untuk menyangkal, terlebih lagi aku. Butuh waktu untuk mencerna situasi ini, untuk menyadari bahwa ini sungguh-sungguh terjadi. Dia, begitupun aku, sepenuhnya paham, kami tak bisa dan tak perlu lagi menaruh harapan pada satu sama lain, sebab sudah tak ada gunanya. Kami tidak siap dengan segala problematika yang ditawarkan oleh jarak. Kami tak saling yakin, cenderung enggan menyiksa diri satu sama lain dalam kebuntuan. Ini adalah jawaban atas tanya yang bahkan tak sempat terlontarkan.

Enam puluh menit berlalu, coffee latte-ku tak lagi utuh. Aku menyesapinya sedikit demi sedikit sambil berharap surutnya cangkir ini dapat sejalan dengan surutnya memori tentangnya. Cangkirku yang kini kosong menandakan sudah waktunya bagiku untuk pulang. Aku mungkin tak akan kembali ke kafe ini, kafe tersudut dengan coffee latte favorit aku dan dia. Segala hal tentangnya tak akan ku bawa pulang lagi dan kutinggalkan saja di kafe ini. Aku mengemas tas, membenarkan jepitan rambut flamingo-ku, lalu beranjak pergi. 

  -afr-

0 Comments:

Posting Komentar

mau kemana kakak? komen dulu dong...

All about my special moments, stories, thoughts, or anything.

Your Number!

Categories

Who is "A"?

Foto saya
Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia
Hello, there! I'm a medical practitioner, hmm but not really... hahaha. It's a pleasure for me to get you here, visitors!

Contact Me

Nama

Email *

Pesan *

To get the latest update of me and my works

>> <<